RIBA,
BANK, DAN ASURANSI
A. RIBA
1.
Pengertian
dan Dasar Hukum Riba
Kata
riba (ar riba) menurut bahasa, yaitu tambahn (az ziyadah) atu kelebihan. Riba
menurut istilah adalah suatu akad perjanjian yang terjadi dalam tukar-menukar
sesuatu barang yang tidak diketahui sama sekali menurut syarak, atau dalam
tukar-menukar itu diayaratkan menerima salah satu dari dua barang apabila
terlambat. Syekh Muhammad Abduh mendefinisikan, riba adalah
penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada prang
yang meminjam hartanya atau uangnya karena janji pembayaran oleh peminjam dari
waktu yang telah ditentukan.
Riba
dapat terjadi pada utang-utang,pinjaman, gadai, atau sewa-menyewa. Sebagai
contoh, Ridwan meminjam uang sebasar Rp. 20.000,- , pada hari Selasa disepakati
dalam setiap satu hari keterlambatan, Ridwan harus mengembalikan uang tersebut
denagn tambahan 2%. Maka, hari berikutnya Ridwan harus mengembalikan uangnya
menjadi Rp. 20.4000,- . Kelebihan atau tambahan ini disebut dengan riba.
Hukum
melakukan riba adalah haram menurut Al-Qur’an, sunah dan ijmak menurut ulama.
Keharaman riba terkait dengan sistem bunga dalam jual beli yang bersifat
komersial. Di dalam melakukan transaksi atau jual beli, terdapat keuntungan
atau bunga tinggi melibihi keumuman atau batas kewajaran, sehingga merugikan
pihak-pihak tertentu. Fuad Moch. Fahruddin berpendapat bahwa riba adalah sebuah
transaksi pemerasan.
Dasar
hukum pengharaman riba menurut Al-Qur’an, sunah dan ijmak para ulama adalah
sebagai berikut:
a. Al-Qur’an
. . . إِنَمَا الْبَيْعُ مِثْلَ الرِّبَوا وَأَحَلَّ اللَّهُ
الْبَيْعَ وَحَرَمَ الرِّبَوا . . . {275}
“...Sesumgguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
(Q.S. Al-Baqarah: 275)
يَمْحَقُ
اللَّهُ الرِّبَوا وَيُرْبِى الصَّدَقَتِ وَاللَّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ
أَثِيمٍ {276}
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.”
(Q.S. Al-Baqarah: 276)
يَأَيُّهَا
الَّذِيْنَ ءَامَنُوا لاَتَأْ كُلُوا الرِّبَوا أّضْعَفًا مُّضَعَفَةً واتَّقُوا
اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ {130}
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba
dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
(Q.S. Ali Imran: 130)
b. Sunah Rasulullah saw.
عَنْ
جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَ قَالَ : لَعَنَ رَسُوْلُ اللَّهُ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَكِلَ الرِّبَاوَمَوْ كِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ
وَقَالَ : هُمْ سَوَاءُ {متفق عليه}
“Dari Jabir r.a. ia berkata, ‘Rasulullah saw. telah melaknati
orang-orang yang memakan riba, orang yang menjadi wakilnya (orang yang memberi
makan hasil riba), orang yang menuliskan, orang yang menyaksikannya, (dan
selanjutnya), Nabi bersabda, mereka itu semua sama saja’.”
(H.R. Muslim)
إِحْتَنِبُوْا
السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ : قَالُوْا : يَارَسُوْلَ اللَّهُ وَمَاهُنَ قَالَ :
الشِّرْكَ بِاللَّهِ ، وَالسِّحْرُ ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِيْ حَرَّمَ اللَّهُ
اِلاَّ بِالْحَقِّ وَاَكْلُ الرِّبَا ، وَاَكْلُ مَالَ الْيَتِيْمِ الزَّحْفِ
وَقَدْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ {متفق عليه}
“Jauhilah tujuh hal yang membinasakan”. Para sahabat
bertanya,”Apakah tujuh hal tersebut ya Rasulullah?” Rasulullah saw. bersabda,
“Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan
alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri pada
saat perang, dan menuduh berzina wanita yang suci, beriman, dan lupa (lupa dari
maksiat).” (H.R. Bukhari dan Muslim)
c. Ijmak para ulama
Para
ulama sepakat bahwa seluruh umat Islam mengutuk dan mengharamkan riba. Riba
adalah salah satu usaha mencari rizeki dengan cara yang tidak benar dan dibenci
Allah swt.. Praktik riba lebih mengutamakan keuntungan diri sendiri dengan
mengorbankan orang lain. Riba akan menyulitkan hidup manusia, terutama mereka
yang memerlukan pertolongan, menimbulkan kesenjangan sosial yang semakin besar
antara yang kaya dan miskin, serta dapat mengurangi rasa kemanusiaan untuk rela
membantu. Oleh karena itu Islam mengharamkan riba.
2.
Macam-macan
Riba
Para ulama fiqih
membagi riba menjadi empat mecam, yaitu:
a. Riba Fadl(رِبَا الفَصْلِ)
Riba
fadl adalah tukar-menukar atau jual beli dua buah barang yang sam jenisnya,
namun tidak sama ukurannya yang disyaratkan oleh orang yang menukatnya. Atau
jual beli yang mengandung unsur ribapada barang yang sejenis dengan adanya
tambahan pada salah satu benda tersebut. Sebagai contohnya adalah tukar-menukar
emas dengan emas atau beras dengan beras, dan ada kelebihan yang disyaratkan
oleh orang yang menukarkan. Kelebihan yang disyaratkan itu disebit riba fadl.
Supaya tuka-menukar
seperti ini tidak termasuk riba, maka arus ada tiga syarat yaitu:
a) Barang
yang ditukarkan tersebut harus sama.
b) Tibangan
atau takarannya harus sama.
c) Serah
terima pada saat itu juga.
b. Riba Nasi’ah(رِبَا النَّسِيْءَة)
Riba
nasi’ah yaitu tukar-menukar dua barang yang sejenis yang maupun tidak sejenis
atau jual beli yang pembayarnnya disyaratkan lebih oleh penjual dengan waktu
yang dilambatkan. Menurut ulama Hanafiyah, riba nasi’ah adalah memberikan kelebihan
terhadap pembayaran dari yang ditangguhkan, memberikan kelebihan pada benda
dibanding untung pada benda yang ditakar atau yang ditimbang yang berbeda jenis
atau selain yang ditakarda ditimbang yang sama jenisnya. Maksudnya adalah
menjual barang dengan sejenisnya, tetapi yang satu lebih banyak dengan
pembayaran diakhirkan, seperti menjual saru kilogram dengan satu setengah
kilogram beras ayng dibayarkan setelah dua bulan kemudian. Kelebihan pembayaran
yang disyaratkan inilah yang disebut riba nasi’ah.
عَنْ
سَمُرَةَبْنِ جُنْدُبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّالنَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْحَيَوَانِ بِالْحَيَوَانِ نَسِيْءَةً
“Dari Samurah bin Jundub sesungguhnya Nabi saw. telah melarang
jual beli binatang dengan binatang yang pembayarannya diakhirkan.”
(H.R. Lima ahli hadist)
c. Riba Qardi(رِبَا القَرْضِ)
Riba
qardi adalah meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan atau tambahan
dari orang yang meminjam. Misalnya Ali meminjam uang kepada Abbas sebesar Rp.
10.000,00. Kemudian Abbas mengharuskan kepada Ali untuk mengembalikan uang itu
sebesar Rp. 11.000,00. Tambahan Rp. 1.000,00 inilah yang disebut riba qardi.
d. Riba Yad(رِبَا اليَدِ)
Riba
yad yaitu berpisah dari tempat akad jual beli sebelum serah terima. Contohnya,
orang yang membeli suatu barang sebelum ia menerima barang tersebut dari
penjual, penjual dan pembeli tersebut telah berpisah sebelum serah terima
barang itu. Jual beli ini dinamakan riba yad. Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa
riba yad adalah jual beli yang mengakhirkan penyerahan (al-qabdu), yakni
bercerai berai antara dua orang yang berakad sebelum serah terima, seperti
menganggap sempurna jual beli antara gandum dan syair tanpa harus saling
menyerahkan dan menerima ditempat akad.
Menurut
ulama Syafi’iyah bahwa antara riba yad dan riba nasi’ah sama-sama terjadi pada
pertukaran barang yang tidak jelas. Perbedaannya, riba yad mengakhirkan
pemegang barang, sedangkan riba nasi’ah mengakhirkan hak dan ketika akad
dinyatakan bahwa waktu pembayaran diakhirkan meskipun sebentar.
Dasar
hadits yang mengungkapkan ketertolakan sistem ini adalah:
إِنَّمَا
الرِّبَا فِى النَّسِيْئَةِ {رواه البحارى و مسلم}
“Tidak ada riba kecuali pada riba nasi’ah.”
(H.R. Bukhari Muslim)
Ada syarat-syarat agar
jual beli tidak menjadi riba, yaitu:
1. Menjual
sesuatu yang sejenis ada tiga syarat, yaitu:
a. Serupa
timbangan dan banyaknya.
b. Tunai.
c. Timbang
terima dalam akad (ijab kabul) sebelum meninggalkan majelis akad.
2. Menjual
sesuatu yang berlainan jenis ada dua syarat, yaitu:
a. Tunai.
b. Timbang
terima dalam akad (ijab kabul) sebelum meninggalkan majelis akad.
Semua agama Samawi mengharamkan
riba. Hal ini disebabkan karena riba mempunyai bahaya yang sangat berat.
Diantaranya adalah:
1. Dapat
menimbulkan permusuhan antar pribadi dan mengikis habis semangat kerja sama
atau saling tolong-menolong, membenci orang yang mengutamakan kepentingan diri
sendiri, serta yang mengeksploitasi.
2. Dapat
menimbulkan tumbuh suburnya mental pemboros yang tidak mau bekerja keras, dan
penimbunan harta di salah satu pihak. Islam menghargai kerja sama sebagai
sarana pencarian nafkah.
3. Sifat
riba sangat buruk sehingga Islam menyerukan agar manusia suka mendermakan harta
kepada saudaranya dengan baik jika saudaranya membutuhkan harta.
3.
Hikmah
Pelarangan Riba
Diharamkan hikmah
diharamkannya riba yaitu:
a. Menghindari
tipu daya diantara sesama manusia.
b. Melindungi
harta sesama muslim agar tidak dimakan dengan batil.
c. Memotifasi
orang muslim untuk menginvestasi hartanya pada usaha-usaha yang bersih dari
penipuan, jauh dari apa saja yang dapat menimbulkan kesulitan dan kemarahan
diantara kaum muslimin.
d. Menutup
seluruh pintu bagi orang muslim.
e. Menjauhkan
orang muslim dari sesuatu yang menyebabkan kebinasaan karena pemakan riba
adalah orang yang zalim dan akibat kezaliman adalah kesusahan.
f. Membuka
pintu-pintu kebaikan di depan orang muslim agar
ia mancari bekal untuk akhirat.
4.
Menjauhkan
Praktik Riba
Karena
riba adalah sesuatu yang diharamkan, maka menjauhkan diri dari praktik riba
adalah sesutu yang sangat mulia dan beroleh pahala. Agar kita dapat manjauhkan
diri dari praktik riba maka yang harus dilakukan adalah:
a. Membiasakan
hidup sederhana, tidak boros.
b. Membiasakan
diri menabung apabila ada kelebihan rezeki dari Allah swt.
c. Menghindarkan
diri dari berfoya-foya selagi ada kelebihan.
d. Menghindari
kebiasaan berhutang.
e. Mengadakan
usaha bersama dibidang ekonomi, seperti koperasi di sekolah atau di masyarakat.
f. Rajin
mensyukuri nikmat Allah swt. dengan cara memanfaatkan untuk kebaikan serta
tidak menyia-nyiakan nikmat tersebut.
g. Melakukan
praktik jual beli dan utang piutang secara baik menurut Islam.
B. BANK
1.
Pengertian
Bank
Menurut
UU No.10 tahun 1992 tentang bank, bank adalah badan usaha yang menghimpun dana
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam
rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Sedangkan menurut Dr. Fuad Moh.
Fachruddin, bank adalah suatu perusahaan yang memperdayagunakan hutang-piutang,
baik yang merupakan uangnya sendiri maupun orang lain. Bank memperedarkan uang
untuk kepentingan umum, tidak membekukannya, dan tidak pula menimbun kekayaan
dalam satu tangan. Bank merupakan tempat penyimpanan yang terbaik dan aman,
serta tempat meminjam (dana) yang teratur. Oleh karena itu, bank menolong
manusia dalam menghadapi esulitan keuangan pada umumnya.
Dari definisi di atas
dapat disimpulkan bahwa fungsi bank adalah sebagai berikut:
a. Menyimpan
dana masyarakat.
b. Menyalurkan
dana masyarakat ke publik.
c. Memperdagangkan
utang piutang.
d. Mengatur
dan menjaga stabilitas peredaran uang.
e. Tempat
menyimpan hata kekayaan (uang dan surat berharga) yang terbaik dan aman.
f. Menolong
manusia dalam mengatasi kesulitan ekonomi keuangan.
Bank
merupakan hasil perkembangan cara-cara penyimpanan harta benda. Pendirian bank
adalah dengan beberapa tujuan, diantaranya yaitu:
a. Menolong
manusia dalm banyak kesulitan, (peminjaman uang tunai atau kridit).
b. Meringankan
hubungan antara para pedagang dan penguhasa dengan memperlancar pemindahan uang
(money-transfer).
c. Bagi
hartawan adalah untuk menjaga keamanan dan memberi perlindungan dari penjahat
dan pencuri dengan menyimpan di tempat yang aman.
d. Untuk
kepentingan dan perkembangan kepentingan, baik nasional maupun internasiolan
dalam seluruh bidang kehidupan.
2.
Dasar
Hukum Islam
Karena
bank adalah masalah baru dalam khazanah hukum Islam, maka para ulama masih
memperdebatkan keabsahan sebuah bank.berikut inibabarapa pandangan mengenai
hukum perbankan, yaitu mengharamkan, tidak mengharamkan, dan syubhat
(samar-samar).
a. Kelompok yang mengharamkan
Ulama
yang mengharamkan riba di antaranya adalah Abu Zahra (guru besar Fakultas
Hukum, Kairo, Mesir), Abu A’la al-Maududi (ulama Pakistan), dan Muhammad Abdullah
al-A’rabi (Kairo). Mereka berpendapat bahwa hukum bank adalah haram, sehingga
kaum Muslimin dilarang mengadakan hubungan dengan bank yang memakai sisitem
bunga, kecuali dalam keadaan darurat atau terpaksa.
Keharaman
bank dikaitkan dengan pemberian bunga bank terhadap nasabah. Bunga bank dalam
pandangan para ulama ini adalah riba nasi’ah, sedangkan riba nasi’ah terlarang
dalam hukum Islam. Maka dari itu, hukum bank adalah haram.
b. Kelompok yang tidak mengharamkan
Ulama
yang ridak mengharamkan di antaranya adalah Syekh Muhammad Syaltut dan A.
Hassan. Mereka mengatakan bahwa kegiatan bermuamalah kaum Muslimin dengan bank
bukan merupakan perbuatan yang dilarang. Bunga bank di Indonesia tidak bersifat
ganda, sebagaimana digambarkan dalam Q.S. Ali Imran ayat 130.
c. Kelompok yang menganggap syubhat (samar)
Bank
merupakan perkara yang belum jelas kedudukan hukumnya dalam Islam karena bank
merupakan sebuah produk baru yang tidak ada nasnya. Hal-hal yang belum ada nas
dan masih diragukan ini yang dimaksud dengan barang syubhat (samar).
Karena
untuk kepentingan umum atau manfaat sosial yang sangat berarti bagi umat, maka
berdasarkan kadah usul (maslahah mursalah), bank masih tetap digunakan dan
dibolehkan. Namun ketentuan ini hanya untuk bank pemerintah (nonswasta), dan
tidak berlaku untuk bank swasta dengan alasan tingkat kerugian pada bank swasta
sangat tinggi dibanding dengan bank pemerintah.
3.
Jenis-jenis
Bank
Berdasarkan
jenis atau sistem pengelolaannya, bank dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu:
a. Bank Konvensional (dengan sistem bunga)
Bank dengan sistem bunga (Konvensional) ada dua
jenis, yaitu bank umum dan bank perkreditan rakyat. Jika melihat dari kegiatan
usahanya, maka perbedaan keduanya adalah sebagai berikut:
1) Usaha Bank Umum
a. Menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka,
sertifikat deposito, tabungan, dan bentuk lain yang dipersamakan dengan itu.
b. Memberikan
atau menyalurkan kredit.
c. Menerbitkan
surat pengakuan utang.
d. Membeli,
menjual, menjamin, atau resiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas
perintah nasabahnya.
e. Memindahkan
uang bank untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah.
f. Menempatkan
dana pada peminjam dana dari atau meminjamkan dana kepada bank lain, baik
dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel atau sarana
lainnya.
g. Menerima
pembayaran atau tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan
atau antarpihak ketiga.
h. Menyediakan
tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga.
i. Melakukan
kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasar kontrak kerja sama.
j. Melakukan
penempatan dana dari nasabah ke nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga
yang tidak tercatat di bursa efek.
k. Membeli
melalui pelelangan agunan, baik semua maupun sebagian dalam hal debitur tidak
memenuhi kewajiban pada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut
wajib dicairkan secepatnya.
l. Melakukan
kegiatan piutang dan usaha kartu kredit.
m. Menyediakan
pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil, sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah.
n. Melakukan
kegiatan lain yang lezim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan
dengan undang-undang dan peraturan undang-undang yang berlaku.
Di
samping legiatan tersebut, bank umum juga berfungsi dalam mengurusi beberapa
hal berikut ini, yaitu:
a) Melakukan
kegiatan dalam hal valuta asing.
b) Melakukan
kegiatan penyertaan modal pada bank atau perusahaan di bidang keuangan, seperti
asuransi, sewa guna usaha, perusahaan efek, lembaga kliring.
c) Melakukan
kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi kegagalan kredit.
d) Bertindak
sebagai pendiri dana pensiun dan pengurusan dana pensiun.
2) Bank Usaha Perkreditan Rakyat
Berdasarkan UU No. 7
tahun 1992, bank usaha perkreditan rakyat meliputi:
a) Menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan,
dan atau bentuk yang lain yang dipersamakan dengan itu.
b) Memberikan
kredit.
c) Menyediakan
pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi keuntungan sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah.
d) Menempatkan
dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka,
sertifikat deposito, atau tabungan pada pihak bank lain.
b. Bank Syariah (Bank dengan prinsip Bagi Hasil)
Karena
belum ada kata sepakat dari para ulama tetang hukum bank konvensional sementara
umat Islam harus mengikuti perkembangan ekonomi sehingga perlu jalan keluar,
maka lahirlah bank syariahdengan prinsip bagi hasil.
Islam
mengajarkan ekonomi yang berkeadilan, Islam mengharamkan riba dan menganjurkan
sedekah. Kesadaran untuk larangan riba telah menimbulkan gagasan pembentukan
bank Islam pada dasawarsa kedua abad ke-20, diantaranya melalui pendirian
institusi sebagai berikut:
1. Bank
Pedesaan (Rural Bank) dan Bank Mir-Ghammar di Mesir tahun 1963 atas prakarsa seorang
cendekiawan Mesir DR. Ahmad An Najjar.
2. Bubai
Islamic Bnak (1973) di kawasan negara-negara Emirat Arab.
3. Islamic
Developmen Bank (1975) di Saudi Arabia.
4. Faisal
Islamic Bank (1977) di Mesir.
5. Kuwait
House Finance (1977) di Kuwait.
6. Jordan
Islamic Bank (1978) di Yordania.
7. Al-Amanah
Islamic Investment Bank (Filipina).
Tentunya masih banyak lagi pertumbuhan dan
perkembangan bank syariah yang tersebar di seluruh dunia baik di negara-negara
Islam maupun di negara Eropa.
Perbedaan antara bank konvesional dan bank syariah
adalah terletak pada sistem pengawasan bank syariah yang dilakukan oleh Dewan
Syariah. Maksudnya, pengelolaan dan produk syariah harus mendapat persetujuan
terlebih dahulu dari Dewan Bank Syariah sebelum diluncurkan ke masyarakat luas.
Perbedaan lainnya kalau bank konvensional dalam operasionalnya didasarkan pada
bunga, sehingga motif orang yang menanamkan uangnya di bank tersebut tidak lain
adalah mencari keuntungan dengan mengharap bunga, sedangkan pada bank syariah
para nasabah tidak demikian melainkan motifnya adalah bagi hasil artinya untung
rugi ditanggung bersama antara pihak bank dan juga nasabahnya. Dana yang
dititipkan pada bank syariah semata-mata disalurkan untuk kepentingan
kemaslahatan umum yang memebutuhkanya, yang diatur dengan perjanjian bahwa
keuntungan yang diperoleh dari hasil usaha tersebut akan dibagi sesuai dengan
kesepakatan.
4.
Operasional
Bank Syariah
Prinsip
operasional dan produk syariah dapat dilihat dari dua sisi, sisi pergerakan
dana masyarakat dan sisi penyaluran dana kepada masyarakat.
a. Pergerakan Dana Masyarakat
Dalam hal penyerahan dana dari masyarakat,
dilaksanakan berdasarkan dua prinsip, yaitu al-wadi’ah dan udarabah.
1) Prinsip Al-Wadi’ah (prinsip simpan murni)
Prinsip
al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dan merupakan perjanjian yang
bersifat percaya-mempercayai atau dilakukan atas dasar kepercayaan semata.
Dalam kegiatan perbankkan, pihak nasabah adalah pihak yang menitipkan uangnya
pada pihak bank. Pihak bank harus menjaga titipan tersebut dan mengembalikannya
apabila si nasabah menghendakinya.
Dasar
hukum al-wadi’ah adalah Al-Qur’an surat An-Nisaa ayat 58, Al-Baqarah ayat 283,
dan Hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang artinya: “Bayarkanlah
(kembalikanlah) petaruh (barang titipan) itu kepada orang yang memercayai
engkau dan janganlah sekali-kali engkau khianat meskipun terhadap orang yang
khianat kepadamu.”
Suatu
hal yang perlu mendapat perhatin dari pihak perbankkan, yakni menggunakan uang
nasabah untuk kepentingan bank, maka pihak bank perlu memberikan semacam
intensif atau hadiah yang tidak menjadi kesepakatan antara pihak nasabah dan
pihak sebelumnya. Hal tersebut perlu, demi membangun kepercayaan masyarakat dan
meningkatkan kesadaran menabung di tengah masyarakat. Di samping itu, pihak
bank perlu memberikan bonus-bonus yang dapat memotivasi nasabah supaya menabung
dan menitipkan uangnya di bank-bank Islam.
2) Prinsip Mudarabah
Mudarabah
pada dasarnya merupakan subsistem dari musyarakah. Namun demikian para ahli
fiqih meletakkan mudarabah dalam posisi tersendiri dan memberikan dasar hukum
yang khusus. Ulama Islam menyebut akad ini dengan menggunakan berbagai nama,
terkadang disebut juga dengan istilah muqarabah, qirad, dan muamalah.
Prinsip mudarabah
berdasarkan firman Allah Q.S. Muzammil ayat 20.
... وَءَاخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِى الأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ
فَضْلِ اللَّهِ... {20}
“...
dan yang lain berjalan di bumi mencari sebagai karunia Allah...”
(Q.S. Al-Muzammil: 20)
Sementara itu,
ketentuan budarabah yang berdasarkan hadits Nabi saw., sebagaimana terdapat
dalam buku Hukum Ekonomi Islam, Sahrawadi K. Lubis, disebutkan bahwa Suhaib
r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tiga perkara di dalamnya
terdapat keberkatan, yaitu menjual dengan cara pembayaran kredit, muqaradah
(mudarabah), mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah dan bukan
untuk dijual”. (H.R. Ibnu Majah)
Berdasarkan keterangan
yang diberikan oleh Sahrawadi k. Lubis bahwa sifat tabungan mudarabah adalah:
a) Sebuah
tabungan dari pihak ketiga di bank Islam,
b) Uang
tabungan mudarabah dapat diambil setiap saat dan berulang kali dengan tidak ada
batas waktu,
c) Bank
akan membagi keuntungan kepada nasabah sesuai dengan perjanjian sebelumnya dan
sama-sama telah sepakat dengan persetujuan itu,
d) Pembagian
dilakukan dalam setiap bulan berdasarkan saldo minimal yang mengendap selam
periode tersebut,
e) Beroperasional
lewat rekening berjangka waktu atau bersyarat.
b. Penyaluran Dana kepada Masyarakat
Dalam hal penyaluran
dana ke masyarakat, bank Islam menggunakan prinsip-prinsip berikut:
1) Al-Mudarabah
Dalam
kontrak mudarabah, seandainya terjadi kerugian atau kebangkrutan, maka kerugian
tersebut ditanggung secara bersama-sama antara bank dengan pihak penanam modal,
pengusaha, atau nasabah yang mengadakan akad perjanjian. Prinspnya, prinsip
ekonomi Islam tidak semata-mata mencari keuntungan, melainkan ada unsur kerja
sama di saat badan usaha mengalami kegagalan dalam usahanya. Dengan catatan,
kegagalan itu bukan karena kebohongan atau penipuan yang syarat dengan unsur
korupsi.
2) Musyarakah (prinsip bagi hasil)
Masyarakat
adalah pemilik modal yang mengadakan perjanjian untuk menyerahkan modalnya pada
suatu proyek. Masing-masing pihak memiliki hak untuk ikut serta dalam manajemen
proyek tersebut.
3) Al-Murabahah
Al-Murabahah
disebut dana talangan dalam pemenuhan produksi (inventory) dan dapat
diterapkan dalam semua jenis pembiayaan penuh. Maksudnya, pihak bank memberikan
dana untuk usaha tertentu dengan ketentuan yang dibuat bersama. Sistem ini
hampir sama dengan kredit modal kerja yang dikenal dalam bank konvensional.
Oleh karena itu, prinsip ini disebut short run financing.
4) Al-Bai’u Bitaman Ajil (konsep cicilan)
Sistem
al-bai’u bitaman ajil adalah pembelian dengan cara pembayaran cicilan.
Maksudnya, pembiayaan yang diberikan oleh pihak bank kepada nasabah dalam rangka
pemenuhan kebutuhan barang modal (investasi).
5) Al-Ijarah (prinsip sewa)
Prinsip
al-ijarah dapat dilakukan pada semua jenis pembiayaan penuh. Pembiayaan penuh
merupakan talangan dana untuk pengadaan barang ditambah keuntungan yang
disepakati dengan sistem pembayaran sewa tanpa diakhiri dengan pemilikan.
Dengan demikian, berarti al-ijarah sama dengan leasing dan bank (leasor)
memberikan kesempatan kepada nasabah/penyewa (lesse) untuk memperoleh
manfaat dari barang untuk jangka waktu tertentu, dengan ketentuan
nasabah/penyewa akan menbayar sejumlah uang pada waktu yang disepakati bersama.
Apabila telah habis jangka waktunya, benda/barang yang dijadikan sebagai objek
al-ijarah tersebut menjadi milik bank.
6) Al-Bai’u Ta’jir (prinsip jual beli)
Prinsip
al-bai’u ta’jir diterapkan pada semua jenis pembiayaan penuh yang merupakan
talangan dana untuk pengadaan, ditambah keuntukngan yang telah disepakati
dengan sistem pembayaran sewa yang diakhiri dengan pemilik. Prinsip al-bai’u
ta’jir ini hampir sama dengan sewa beli. Setelah habis pembayaran sesuai dengan
jangka waktu yang ditentukan, objek barang/benda tersebut menjadi milik
nasabah.
7) Qard Hasan
Prinsip
qard hasan adalah rencana keuangan dalam bentuk pinjaman kebijakan yang tidak
dikenakan biaya dan tanpa bunga. Jenis pinjaman ini diberikan pada konsumen
atau pengusaha yang mengalami situasi yang sulit atau pengeluaran yang tidak direncanakan.
Dengan kata lain, prinsip ini adalah penyuntikan dan bagi pengusaha atau
konsumen yang sedang jauh atau bangkrut.
Kehadiran bank syariah
memiliki hikmah yang cukup besar, diantaranya:
1. Umat
Islam yang berpendirian bahwa bunga bank konvensional adalah riba, maka bank
syariah menjadi alternatif untuk menyimpan uangnya, baik dengan cara deposito,
bagi hasil maupun lainnya.
2. Untuk
menyelamatkan umat Islam dari praktik riba (bunga) yang mengandung unsur
pemerasan (eksploitasi) dari si kaya terhadap si miskin atau orang yang kuat
ekonominya terhadap yang lemah ekonominya.
3. Untuk
menyelamatkan ketergantungan umat Islam terhadap bank non-Islam yang
menyebabkan umat Islam berada di bawah kekuasaan bank sehingga umat Islam belum
bisa menerapkan ajaran agamanya dalam kehidupan pribadi dan masyarakat, terutama
dalam kegiatan bisnisdan perekonomiannya.
4. Bank
Islam dapat mengelola zakat di negara yang pemerintahannya belum mengelola
zakat secara langsung. Dan bank juga dapat menggunakan sebagian zakat yang
terkumpul untuk proyek-proyek yang produktif dan hasilnya untuk kepentingan
agama dan umum.
5. Bank
Islam juga boleh memungut dan menerima pembayaran untuk hal-hal berikut:
a.
Mengganti
biaya-biaya yang langsung dikeluarkan oleh bank dalam melaksanakan pekerjaan
untuk kepentingan nasabah, misalnya: biaya telegram, telepon, atau telex dalam
memindahkan atau memberitahukan rekening nasabah, dan sebagainya.
b.
Membayar gaji
para karyawan bank yang melakukan pekerjaan untuk kepentingan nasabah dan
sebagai sarana dan prasarana yang disediakan oleh bank dan biaya administrasi
pada umumnya.
C. ASURANSI
Sesuai
dengan prinsip Islam yang menghindari bentuk-bentuk bunga, dalam akad asuransi
tidak ada riba di dalamnya. Asuransi merupakan produk ekonomi Islam yang
tergolong baru dalam khazanah hukum Islam. Berbagai perbedaan pendapat muncul
di kalangan umat Islam terkait apakah akad asuransi ini dibenarkan dalam islam
atau tidak.
1.
Pengertian
Asuransi
Istilah
asuransi seringkali dasamakan dengan istilah pertanggungan (kafalah).
Pengertian tersebut dapat dijumpai dalam ketentuan Pasal 1 UU No. 2 tahun 1992
tentang usaha perasurasian.
Asuransi
atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, pihak
penanggung mengingatkan diri pada tertanggung dengan menerima premiasuransi,
untuk memberikan penggantian pada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum pada pihak
ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa
yang tidak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas
meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Dari
pengertian di atas dapat dikemukakan bahwa asuransi pada dasarnya adalah
pertanggungan dan ikhtiar seseorang dalam rangka menanggulangi resiko atau
akibat-akibat dari terjadinya sebuah peristiwa yang tidak diinginkan
(diharapkan) terjadi, namun terjadi.
Menurut
pasal KUPD, asuransi adalah suatu perjanjian (akad) antara seseorang yang
mempertanggungkan sesuatu dengan seorang penanggung atau asurator. Menurut
perjanjian ini, si penanggung menerima premi, yakni semacam pembayaran, baik
sekaligus maupun berkala dari orang yang mempertanggungkan itu, dan dia
berjanji akan mengganti kerugian yang mungkin diderita oleh si
mempertanggungkan karena kejadian kelak (kemudian hari) yang sebelumnya tidak
dapat ditentukan dan diketahui oleh siapa pun, seperti kebakaran, kehilangan,
dan kerusakan.
2.
Dasar
Hukum Asuransi
Ketentuan
mengenai asuransi masuk dalam kategori objek ijtihad karena ketidakjelasan
ketentuan hukumnya. Hal ini terjadi karena memang ketetuan mengenai asuransi,
aik di dalam al-qur’an maupun hadits Nabi saw., termasuk para ulama tidak
banyak yang membicarakannya.
Untuk
mengeluarkan sebuah produk hukum ijtihad, dapat menggunakan berbagai cara,
antara lain menggunakan konsep maslahah mursalah atau dengan cara kias (metode
analgis). Berdasarkan hasil ijtihad para ulama dengan menggunakan metode ini
maka dasar hukum asuransi di lingkungan ulama muncul beragam atau berbeda-beda.
Perbedaan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Pendapat
pertama, mengatakan bahwa asuransi dengan sagala bentuk perwujudannya dipandang
haram menurut ketentuan hukum. Artinya, melakukan akad asuransi tidak
dibolehkan. Ulama yang mengharamkan asuransi ini adalah Abdullah al-Qalqili dan
Muhammad Yusuf al-Qardawi.
b. Pendapat
kedua, menyatakan bahwa asuransi dengan sagala bentuk perwujudannya dapat
diterima dalam syariat Islam. Ulama yang mendukung pendapat ini adalah Abdul
Wahab Khallaf dan Mustafa Ahmad Zarqa (Syiria), Muhammad Yusuf Musa (Kairo).
c. Pendapat
ketiga, mengatakan bahwa asuransi sosial diperbolehkan, sedangkan asuransi
komersial tidak diperdolehkan, kaena bertentangan dengan syariat Islam.
Pendapat ini didukung oleh ulama Abu Zahrah.
d. Pendapat
keempat, mengatakan bahwa asuransi dengan segala bentk perwujudannya dipandang
syubhat. Pendapat tersebut didukun oleh K.H. Ahmad Azhar Basyir (Indonesia).
Dari
berbagai keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa asuransi dibolehkan selama
tidak bertentangan dengan syariat Islam. Artinya, hendaknya berdasarkan asa
gotong royong (ta’awun) dan perjanjian-perjanjian yang dibuat benar-benar
bersifat tolong-menolong, bukan untuk mencari laba atau keuntungan dengan jalan
yang tidak benar.
Dalam
buku Hukum Asuransi di Indonesia yang ditulis oleh Vide Wirjono Prodjadikoro,
dijelaskan, menurut pasal 246 Wet Boek Van Koophandel (Kitab Undang-Undang
Perniagaan), bahwa asuransi pada umumnya adalah suatu persetujuan dimana pihak
yang menjamin berjanji kepada pihak yang dijamin untuk menerima sejumlah uang
premi sebagai pengganti kerugian yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin
karena akibat dari satu peristiwa yang belum jelas akan terjadi.
3.
Tujuan
Asuransi
Tujuan
asuransi adalah meawarkan jaminan perlindungan untuk menghadapi kerugian akibat
suatu bencana yang terjadi pada yang diasuransikan, tanpa ada unsur penambahan
kekayaan seseorang.
Cara
untuk menanggulangi bahaya yang mungkin terjadi biasanya dipraktikkan dengan
bersama-sama menanggung kerugian itu untuk tujuan meringankan beban penderita
yang diasuransikan. Hal ini berarti bahwa tujuan dari asuransi lebih dekat
dengan arti iuran ntuk perlindungan bersama.
4.
Jenis
Asuransi
Social
insurance lebih dianjurkan daripada bentuk-bentuk asuransi
lain yang tidak jelas status hukumnya. Di Indonesia terdapat dua asuransi,
yaitu asuransi sosial dan takaful. Asuransi sosial adalah asuransi pemerintah
yang merupakan tuntunan UU 1945, khususnya pasal kesejahteraan sosial. Asuransi
takaful merupakan lembaga asuransi yang berbasis Islam. Pembahasan kedua modal
asuransi (sosial dan takaful) dirasa lebih cocok dan diterima oleh masyarakat
Islam di Indonesia.
Asuransi sosial
memiliki kekhususan tersendiri, diantaranya:
a. Penyelenggara
pertanggungan (asuransi) adalah pemerinta.
b. Sifat
hukum pertanggungan itu adalah wajib bagi seluruh anggota masyarakat atau
sebagai anggota tertentu masyarakat. Misalnya, bagi para penumpang kendaraan,
baik laut, darat maupun udara.
c. Penentuan
penggantian kerugian diatur oleh pemerintah dengan peraturan khusus yang dibuat
untuk itu.
d. Tujuan
asuransi memberikan suatu jaminan sosial (social security), bukan untuk
mencari keuntungan.
Secara
operasional, asuransi yang sesuai dengan syariah memiliki sistem yang
mengandung hal-hal sebagai berikut:
a. Mempunyai
akad takafuli (tolong-menolong) untuk memberikan santunan atau perlindungan
atas musbah yang akan datang.
b. Dana
yang terkumpul menjadi amanah pengeloladana. Dana tersebut diinvestasikan
sesuai dengan instrumen syariah seperti mudarabah, wakalah, wad’ah, dan
murabahah.
c. Premi
memiliki unsur tabaruq atau mortalita (harapan hidup).
d. Pembebanan
biaya operasional ditanggung pemegang polis, terbatas pada kisaran 30% dari
premi sehingga pembentukan pada nilai tunai cepat terbentuk di tahun pertama
yang memiliki nilai 70% dari premi.
e. Dari
rekening tabarru’ (dana kebijakan seluruh peserta) sejak awal sudah diikhlaskan
oleh peserta untuk keperluan tolong-menolong bila terjadi musibah.
f. Mekanisme
pertanggungan pada asuransi syariah adalah sharing of risk di mana
apabila terjadi musibah, maka semua peserta ikut saling menanggung dan
membantu.
g. Keuntngan
(profit) dibagi antara perusahaan dengan peserta sesuai prinsip bagi
hasil (mudarabah), atau dalam akad tabarru’ dapat berbentuk dengan memberikan
hadiah kepada peserta dan upah (fee) kepada pengelola.
h. Mempunyai
misi akidah, sosia serta mengangkat perekonomian umat Islam atau misi istiqadi.