Revolusi Anjing Masa Depan

CRISTIANO RONALDO MAHO

Jembatan di Atas Awan

Gambar Sketch Pemain Bola

10 Orang Terkaya Sejagad Versi Forbes 2011

Daftar nama orang terkaya : Taipan asal Meksiko, Carlos Slim Helu, tahun ini tetap menjadi orang terkaya di dunia

Jumat, 07 Desember 2012

RIBA, BANK, DAN ASURANSI

RIBA, BANK, DAN ASURANSI
A.      RIBA
1.        Pengertian dan Dasar Hukum Riba
Kata riba (ar riba) menurut bahasa, yaitu tambahn (az ziyadah) atu kelebihan. Riba menurut istilah adalah suatu akad perjanjian yang terjadi dalam tukar-menukar sesuatu barang yang tidak diketahui sama sekali menurut syarak, atau dalam tukar-menukar itu diayaratkan menerima salah satu dari dua barang apabila terlambat. Syekh Muhammad Abduh mendefinisikan, riba adalah penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada prang yang meminjam hartanya atau uangnya karena janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan.
Riba dapat terjadi pada utang-utang,pinjaman, gadai, atau sewa-menyewa. Sebagai contoh, Ridwan meminjam uang sebasar Rp. 20.000,- , pada hari Selasa disepakati dalam setiap satu hari keterlambatan, Ridwan harus mengembalikan uang tersebut denagn tambahan 2%. Maka, hari berikutnya Ridwan harus mengembalikan uangnya menjadi Rp. 20.4000,- . Kelebihan atau tambahan ini disebut dengan riba.
Hukum melakukan riba adalah haram menurut Al-Qur’an, sunah dan ijmak menurut ulama. Keharaman riba terkait dengan sistem bunga dalam jual beli yang bersifat komersial. Di dalam melakukan transaksi atau jual beli, terdapat keuntungan atau bunga tinggi melibihi keumuman atau batas kewajaran, sehingga merugikan pihak-pihak tertentu. Fuad Moch. Fahruddin berpendapat bahwa riba adalah sebuah transaksi pemerasan.
Dasar hukum pengharaman riba menurut Al-Qur’an, sunah dan ijmak para ulama adalah sebagai berikut:
a.    Al-Qur’an
. . . إِنَمَا الْبَيْعُ مِثْلَ الرِّبَوا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَمَ الرِّبَوا . . . {275}
“...Sesumgguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Q.S. Al-Baqarah: 275)
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَوا وَيُرْبِى الصَّدَقَتِ وَاللَّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ {276}
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (Q.S. Al-Baqarah: 276)
يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا لاَتَأْ كُلُوا الرِّبَوا أّضْعَفًا مُّضَعَفَةً واتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ {130}
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya  kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S. Ali Imran: 130)
b.   Sunah Rasulullah saw.
عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَ قَالَ : لَعَنَ رَسُوْلُ اللَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَكِلَ الرِّبَاوَمَوْ كِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ : هُمْ سَوَاءُ {متفق عليه}
“Dari Jabir r.a. ia berkata, ‘Rasulullah saw. telah melaknati orang-orang yang memakan riba, orang yang menjadi wakilnya (orang yang memberi makan hasil riba), orang yang menuliskan, orang yang menyaksikannya, (dan selanjutnya), Nabi bersabda, mereka itu semua sama saja’.” (H.R. Muslim)
إِحْتَنِبُوْا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ : قَالُوْا : يَارَسُوْلَ اللَّهُ وَمَاهُنَ قَالَ : الشِّرْكَ بِاللَّهِ ، وَالسِّحْرُ ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِيْ حَرَّمَ اللَّهُ اِلاَّ بِالْحَقِّ وَاَكْلُ الرِّبَا ، وَاَكْلُ مَالَ الْيَتِيْمِ الزَّحْفِ وَقَدْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ {متفق عليه}
“Jauhilah tujuh hal yang membinasakan”. Para sahabat bertanya,”Apakah tujuh hal tersebut ya Rasulullah?” Rasulullah saw. bersabda, “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri pada saat perang, dan menuduh berzina wanita yang suci, beriman, dan lupa (lupa dari maksiat).” (H.R. Bukhari dan Muslim)
c.    Ijmak para ulama
Para ulama sepakat bahwa seluruh umat Islam mengutuk dan mengharamkan riba. Riba adalah salah satu usaha mencari rizeki dengan cara yang tidak benar dan dibenci Allah swt.. Praktik riba lebih mengutamakan keuntungan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain. Riba akan menyulitkan hidup manusia, terutama mereka yang memerlukan pertolongan, menimbulkan kesenjangan sosial yang semakin besar antara yang kaya dan miskin, serta dapat mengurangi rasa kemanusiaan untuk rela membantu. Oleh karena itu Islam mengharamkan riba.
2.        Macam-macan Riba
Para ulama fiqih membagi riba menjadi empat mecam, yaitu:
a.    Riba Fadl(رِبَا الفَصْلِ)
Riba fadl adalah tukar-menukar atau jual beli dua buah barang yang sam jenisnya, namun tidak sama ukurannya yang disyaratkan oleh orang yang menukatnya. Atau jual beli yang mengandung unsur ribapada barang yang sejenis dengan adanya tambahan pada salah satu benda tersebut. Sebagai contohnya adalah tukar-menukar emas dengan emas atau beras dengan beras, dan ada kelebihan yang disyaratkan oleh orang yang menukarkan. Kelebihan yang disyaratkan itu disebit riba fadl.
Supaya tuka-menukar seperti ini tidak termasuk riba, maka arus ada tiga syarat yaitu:
a)    Barang yang ditukarkan tersebut harus sama.
b)   Tibangan atau takarannya harus sama.
c)    Serah terima pada saat itu juga.
b.   Riba Nasi’ah(رِبَا النَّسِيْءَة)
Riba nasi’ah yaitu tukar-menukar dua barang yang sejenis yang maupun tidak sejenis atau jual beli yang pembayarnnya disyaratkan lebih oleh penjual dengan waktu yang dilambatkan. Menurut ulama Hanafiyah, riba nasi’ah adalah memberikan kelebihan terhadap pembayaran dari yang ditangguhkan, memberikan kelebihan pada benda dibanding untung pada benda yang ditakar atau yang ditimbang yang berbeda jenis atau selain yang ditakarda ditimbang yang sama jenisnya. Maksudnya adalah menjual barang dengan sejenisnya, tetapi yang satu lebih banyak dengan pembayaran diakhirkan, seperti menjual saru kilogram dengan satu setengah kilogram beras ayng dibayarkan setelah dua bulan kemudian. Kelebihan pembayaran yang disyaratkan inilah yang disebut riba nasi’ah.
عَنْ سَمُرَةَبْنِ جُنْدُبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّالنَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْحَيَوَانِ بِالْحَيَوَانِ نَسِيْءَةً
“Dari Samurah bin Jundub sesungguhnya Nabi saw. telah melarang jual beli binatang dengan binatang yang pembayarannya diakhirkan.” (H.R. Lima ahli hadist)
c.    Riba Qardi(رِبَا القَرْضِ)
Riba qardi adalah meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan atau tambahan dari orang yang meminjam. Misalnya Ali meminjam uang kepada Abbas sebesar Rp. 10.000,00. Kemudian Abbas mengharuskan kepada Ali untuk mengembalikan uang itu sebesar Rp. 11.000,00. Tambahan Rp. 1.000,00 inilah yang disebut riba qardi.
d.   Riba Yad(رِبَا اليَدِ)
Riba yad yaitu berpisah dari tempat akad jual beli sebelum serah terima. Contohnya, orang yang membeli suatu barang sebelum ia menerima barang tersebut dari penjual, penjual dan pembeli tersebut telah berpisah sebelum serah terima barang itu. Jual beli ini dinamakan riba yad. Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa riba yad adalah jual beli yang mengakhirkan penyerahan (al-qabdu), yakni bercerai berai antara dua orang yang berakad sebelum serah terima, seperti menganggap sempurna jual beli antara gandum dan syair tanpa harus saling menyerahkan dan menerima ditempat akad.
Menurut ulama Syafi’iyah bahwa antara riba yad dan riba nasi’ah sama-sama terjadi pada pertukaran barang yang tidak jelas. Perbedaannya, riba yad mengakhirkan pemegang barang, sedangkan riba nasi’ah mengakhirkan hak dan ketika akad dinyatakan bahwa waktu pembayaran diakhirkan meskipun sebentar.
Dasar hadits yang mengungkapkan ketertolakan sistem ini adalah:
إِنَّمَا الرِّبَا فِى النَّسِيْئَةِ {رواه البحارى و مسلم}
“Tidak ada riba kecuali pada riba nasi’ah.” (H.R. Bukhari Muslim)
Ada syarat-syarat agar jual beli tidak menjadi riba, yaitu:
1.    Menjual sesuatu yang sejenis ada tiga syarat, yaitu:
a.    Serupa timbangan dan banyaknya.
b.    Tunai.
c.    Timbang terima dalam akad (ijab kabul) sebelum meninggalkan majelis akad.
2.    Menjual sesuatu yang berlainan jenis ada dua syarat, yaitu:
a.    Tunai.
b.    Timbang terima dalam akad (ijab kabul) sebelum meninggalkan majelis akad.
Semua agama Samawi mengharamkan riba. Hal ini disebabkan karena riba mempunyai bahaya yang sangat berat. Diantaranya adalah:
1.    Dapat menimbulkan permusuhan antar pribadi dan mengikis habis semangat kerja sama atau saling tolong-menolong, membenci orang yang mengutamakan kepentingan diri sendiri, serta yang mengeksploitasi.
2.    Dapat menimbulkan tumbuh suburnya mental pemboros yang tidak mau bekerja keras, dan penimbunan harta di salah satu pihak. Islam menghargai kerja sama sebagai sarana pencarian nafkah.
3.    Sifat riba sangat buruk sehingga Islam menyerukan agar manusia suka mendermakan harta kepada saudaranya dengan baik jika saudaranya membutuhkan harta.
3.        Hikmah Pelarangan Riba
Diharamkan hikmah diharamkannya riba yaitu:
a.    Menghindari tipu daya diantara sesama manusia.
b.    Melindungi harta sesama muslim agar tidak dimakan dengan batil.
c.    Memotifasi orang muslim untuk menginvestasi hartanya pada usaha-usaha yang bersih dari penipuan, jauh dari apa saja yang dapat menimbulkan kesulitan dan kemarahan diantara kaum muslimin.
d.   Menutup seluruh pintu bagi orang muslim.
e.    Menjauhkan orang muslim dari sesuatu yang menyebabkan kebinasaan karena pemakan riba adalah orang yang zalim dan akibat kezaliman adalah kesusahan.
f.     Membuka pintu-pintu kebaikan di depan orang muslim agar  ia mancari bekal untuk akhirat.
4.        Menjauhkan Praktik Riba
Karena riba adalah sesuatu yang diharamkan, maka menjauhkan diri dari praktik riba adalah sesutu yang sangat mulia dan beroleh pahala. Agar kita dapat manjauhkan diri dari praktik riba maka yang harus dilakukan adalah:
a.    Membiasakan hidup sederhana, tidak boros.
b.    Membiasakan diri menabung apabila ada kelebihan rezeki dari Allah swt.
c.    Menghindarkan diri dari berfoya-foya selagi ada kelebihan.
d.   Menghindari kebiasaan berhutang.
e.    Mengadakan usaha bersama dibidang ekonomi, seperti koperasi di sekolah atau di masyarakat.
f.     Rajin mensyukuri nikmat Allah swt. dengan cara memanfaatkan untuk kebaikan serta tidak menyia-nyiakan nikmat tersebut.
g.    Melakukan praktik jual beli dan utang piutang secara baik menurut Islam.
B.       BANK
1.        Pengertian Bank
Menurut UU No.10 tahun 1992 tentang bank, bank adalah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Sedangkan menurut Dr. Fuad Moh. Fachruddin, bank adalah suatu perusahaan yang memperdayagunakan hutang-piutang, baik yang merupakan uangnya sendiri maupun orang lain. Bank memperedarkan uang untuk kepentingan umum, tidak membekukannya, dan tidak pula menimbun kekayaan dalam satu tangan. Bank merupakan tempat penyimpanan yang terbaik dan aman, serta tempat meminjam (dana) yang teratur. Oleh karena itu, bank menolong manusia dalam menghadapi esulitan keuangan pada umumnya.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi bank adalah sebagai berikut:
a.    Menyimpan dana masyarakat.
b.    Menyalurkan dana masyarakat ke publik.
c.    Memperdagangkan utang piutang.
d.   Mengatur dan menjaga stabilitas peredaran uang.
e.    Tempat menyimpan hata kekayaan (uang dan surat berharga) yang terbaik dan aman.
f.     Menolong manusia dalam mengatasi kesulitan ekonomi keuangan.
Bank merupakan hasil perkembangan cara-cara penyimpanan harta benda. Pendirian bank adalah dengan beberapa tujuan, diantaranya yaitu:
a.    Menolong manusia dalm banyak kesulitan, (peminjaman uang tunai atau kridit).
b.    Meringankan hubungan antara para pedagang dan penguhasa dengan memperlancar pemindahan uang (money-transfer).
c.    Bagi hartawan adalah untuk menjaga keamanan dan memberi perlindungan dari penjahat dan pencuri dengan menyimpan di tempat yang aman.
d.   Untuk kepentingan dan perkembangan kepentingan, baik nasional maupun internasiolan dalam seluruh bidang kehidupan.
2.        Dasar Hukum Islam
Karena bank adalah masalah baru dalam khazanah hukum Islam, maka para ulama masih memperdebatkan keabsahan sebuah bank.berikut inibabarapa pandangan mengenai hukum perbankan, yaitu mengharamkan, tidak mengharamkan, dan syubhat (samar-samar).
a.    Kelompok yang mengharamkan
Ulama yang mengharamkan riba di antaranya adalah Abu Zahra (guru besar Fakultas Hukum, Kairo, Mesir), Abu A’la al-Maududi (ulama Pakistan), dan Muhammad Abdullah al-A’rabi (Kairo). Mereka berpendapat bahwa hukum bank adalah haram, sehingga kaum Muslimin dilarang mengadakan hubungan dengan bank yang memakai sisitem bunga, kecuali dalam keadaan darurat atau terpaksa.
Keharaman bank dikaitkan dengan pemberian bunga bank terhadap nasabah. Bunga bank dalam pandangan para ulama ini adalah riba nasi’ah, sedangkan riba nasi’ah terlarang dalam hukum Islam. Maka dari itu, hukum bank adalah haram.
b.   Kelompok yang tidak mengharamkan
Ulama yang ridak mengharamkan di antaranya adalah Syekh Muhammad Syaltut dan A. Hassan. Mereka mengatakan bahwa kegiatan bermuamalah kaum Muslimin dengan bank bukan merupakan perbuatan yang dilarang. Bunga bank di Indonesia tidak bersifat ganda, sebagaimana digambarkan dalam Q.S. Ali Imran ayat 130.
c.    Kelompok yang menganggap syubhat (samar)
Bank merupakan perkara yang belum jelas kedudukan hukumnya dalam Islam karena bank merupakan sebuah produk baru yang tidak ada nasnya. Hal-hal yang belum ada nas dan masih diragukan ini yang dimaksud dengan barang syubhat (samar).
Karena untuk kepentingan umum atau manfaat sosial yang sangat berarti bagi umat, maka berdasarkan kadah usul (maslahah mursalah), bank masih tetap digunakan dan dibolehkan. Namun ketentuan ini hanya untuk bank pemerintah (nonswasta), dan tidak berlaku untuk bank swasta dengan alasan tingkat kerugian pada bank swasta sangat tinggi dibanding dengan bank pemerintah.
3.        Jenis-jenis Bank
Berdasarkan jenis atau sistem pengelolaannya, bank dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu:
a.    Bank Konvensional (dengan sistem bunga)
Bank dengan sistem bunga (Konvensional) ada dua jenis, yaitu bank umum dan bank perkreditan rakyat. Jika melihat dari kegiatan usahanya, maka perbedaan keduanya adalah sebagai berikut:
1)   Usaha Bank Umum
a.    Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan bentuk lain yang dipersamakan dengan itu.
b.    Memberikan atau menyalurkan kredit.
c.    Menerbitkan surat pengakuan utang.
d.   Membeli, menjual, menjamin, atau resiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya.
e.    Memindahkan uang bank untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah.
f.     Menempatkan dana pada peminjam dana dari atau meminjamkan dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel atau sarana lainnya.
g.    Menerima pembayaran atau tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antarpihak ketiga.
h.    Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga.
i.      Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasar kontrak kerja sama.
j.      Melakukan penempatan dana dari nasabah ke nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek.
k.    Membeli melalui pelelangan agunan, baik semua maupun sebagian dalam hal debitur tidak memenuhi kewajiban pada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya.
l.      Melakukan kegiatan piutang dan usaha kartu kredit.
m.  Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah.
n.    Melakukan kegiatan lain yang lezim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan undang-undang yang berlaku.
Di samping legiatan tersebut, bank umum juga berfungsi dalam mengurusi beberapa hal berikut ini, yaitu:
a)    Melakukan kegiatan dalam hal valuta asing.
b)   Melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank atau perusahaan di bidang keuangan, seperti asuransi, sewa guna usaha, perusahaan efek, lembaga kliring.
c)    Melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi kegagalan kredit.
d)   Bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurusan dana pensiun.
2)   Bank Usaha Perkreditan Rakyat
Berdasarkan UU No. 7 tahun 1992, bank usaha perkreditan rakyat meliputi:
a)    Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan, dan atau bentuk yang lain yang dipersamakan dengan itu.
b)   Memberikan kredit.
c)    Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi keuntungan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah.
d)   Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka, sertifikat deposito, atau tabungan pada pihak bank lain.
b.   Bank Syariah (Bank dengan prinsip Bagi Hasil)
Karena belum ada kata sepakat dari para ulama tetang hukum bank konvensional sementara umat Islam harus mengikuti perkembangan ekonomi sehingga perlu jalan keluar, maka lahirlah bank syariahdengan prinsip bagi hasil.
Islam mengajarkan ekonomi yang berkeadilan, Islam mengharamkan riba dan menganjurkan sedekah. Kesadaran untuk larangan riba telah menimbulkan gagasan pembentukan bank Islam pada dasawarsa kedua abad ke-20, diantaranya melalui pendirian institusi sebagai berikut:
1.    Bank Pedesaan (Rural Bank) dan Bank Mir-Ghammar di Mesir tahun 1963 atas prakarsa seorang cendekiawan Mesir DR. Ahmad An Najjar.
2.    Bubai Islamic Bnak (1973) di kawasan negara-negara Emirat Arab.
3.    Islamic Developmen Bank (1975) di Saudi Arabia.
4.    Faisal Islamic Bank (1977) di Mesir.
5.    Kuwait House Finance (1977) di Kuwait.
6.    Jordan Islamic Bank (1978) di Yordania.
7.    Al-Amanah Islamic Investment Bank (Filipina).
Tentunya masih banyak lagi pertumbuhan dan perkembangan bank syariah yang tersebar di seluruh dunia baik di negara-negara Islam maupun di negara Eropa.
Perbedaan antara bank konvesional dan bank syariah adalah terletak pada sistem pengawasan bank syariah yang dilakukan oleh Dewan Syariah. Maksudnya, pengelolaan dan produk syariah harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Dewan Bank Syariah sebelum diluncurkan ke masyarakat luas. Perbedaan lainnya kalau bank konvensional dalam operasionalnya didasarkan pada bunga, sehingga motif orang yang menanamkan uangnya di bank tersebut tidak lain adalah mencari keuntungan dengan mengharap bunga, sedangkan pada bank syariah para nasabah tidak demikian melainkan motifnya adalah bagi hasil artinya untung rugi ditanggung bersama antara pihak bank dan juga nasabahnya. Dana yang dititipkan pada bank syariah semata-mata disalurkan untuk kepentingan kemaslahatan umum yang memebutuhkanya, yang diatur dengan perjanjian bahwa keuntungan yang diperoleh dari hasil usaha tersebut akan dibagi sesuai dengan kesepakatan.
4.        Operasional Bank Syariah
Prinsip operasional dan produk syariah dapat dilihat dari dua sisi, sisi pergerakan dana masyarakat dan sisi penyaluran dana kepada masyarakat.
a.    Pergerakan Dana Masyarakat
Dalam hal penyerahan dana dari masyarakat, dilaksanakan berdasarkan dua prinsip, yaitu al-wadi’ah dan udarabah.
1)   Prinsip Al-Wadi’ah (prinsip simpan murni)
Prinsip al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dan merupakan perjanjian yang bersifat percaya-mempercayai atau dilakukan atas dasar kepercayaan semata. Dalam kegiatan perbankkan, pihak nasabah adalah pihak yang menitipkan uangnya pada pihak bank. Pihak bank harus menjaga titipan tersebut dan mengembalikannya apabila si nasabah menghendakinya.
Dasar hukum al-wadi’ah adalah Al-Qur’an surat An-Nisaa ayat 58, Al-Baqarah ayat 283, dan Hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang artinya: “Bayarkanlah (kembalikanlah) petaruh (barang titipan) itu kepada orang yang memercayai engkau dan janganlah sekali-kali engkau khianat meskipun terhadap orang yang khianat kepadamu.”
Suatu hal yang perlu mendapat perhatin dari pihak perbankkan, yakni menggunakan uang nasabah untuk kepentingan bank, maka pihak bank perlu memberikan semacam intensif atau hadiah yang tidak menjadi kesepakatan antara pihak nasabah dan pihak sebelumnya. Hal tersebut perlu, demi membangun kepercayaan masyarakat dan meningkatkan kesadaran menabung di tengah masyarakat. Di samping itu, pihak bank perlu memberikan bonus-bonus yang dapat memotivasi nasabah supaya menabung dan menitipkan uangnya di bank-bank Islam.
2)   Prinsip Mudarabah
Mudarabah pada dasarnya merupakan subsistem dari musyarakah. Namun demikian para ahli fiqih meletakkan mudarabah dalam posisi tersendiri dan memberikan dasar hukum yang khusus. Ulama Islam menyebut akad ini dengan menggunakan berbagai nama, terkadang disebut juga dengan istilah muqarabah, qirad, dan muamalah.
Prinsip mudarabah berdasarkan firman Allah Q.S. Muzammil ayat 20.
... وَءَاخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِى الأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ... {20}
“... dan yang lain berjalan di bumi mencari sebagai karunia Allah...” (Q.S. Al-Muzammil: 20)
Sementara itu, ketentuan budarabah yang berdasarkan hadits Nabi saw., sebagaimana terdapat dalam buku Hukum Ekonomi Islam, Sahrawadi K. Lubis, disebutkan bahwa Suhaib r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tiga perkara di dalamnya terdapat keberkatan, yaitu menjual dengan cara pembayaran kredit, muqaradah (mudarabah), mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah dan bukan untuk dijual”. (H.R. Ibnu Majah)
Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Sahrawadi k. Lubis bahwa sifat tabungan mudarabah adalah:
a)    Sebuah tabungan dari pihak ketiga di bank Islam,
b)   Uang tabungan mudarabah dapat diambil setiap saat dan berulang kali dengan tidak ada batas waktu,
c)    Bank akan membagi keuntungan kepada nasabah sesuai dengan perjanjian sebelumnya dan sama-sama telah sepakat dengan persetujuan itu,
d)   Pembagian dilakukan dalam setiap bulan berdasarkan saldo minimal yang mengendap selam periode tersebut,
e)    Beroperasional lewat rekening berjangka waktu atau bersyarat.
b.   Penyaluran Dana kepada Masyarakat
Dalam hal penyaluran dana ke masyarakat, bank Islam menggunakan prinsip-prinsip berikut:
1)   Al-Mudarabah
Dalam kontrak mudarabah, seandainya terjadi kerugian atau kebangkrutan, maka kerugian tersebut ditanggung secara bersama-sama antara bank dengan pihak penanam modal, pengusaha, atau nasabah yang mengadakan akad perjanjian. Prinspnya, prinsip ekonomi Islam tidak semata-mata mencari keuntungan, melainkan ada unsur kerja sama di saat badan usaha mengalami kegagalan dalam usahanya. Dengan catatan, kegagalan itu bukan karena kebohongan atau penipuan yang syarat dengan unsur korupsi.
2)   Musyarakah (prinsip bagi hasil)
Masyarakat adalah pemilik modal yang mengadakan perjanjian untuk menyerahkan modalnya pada suatu proyek. Masing-masing pihak memiliki hak untuk ikut serta dalam manajemen proyek tersebut.
3)   Al-Murabahah
Al-Murabahah disebut dana talangan dalam pemenuhan produksi (inventory) dan dapat diterapkan dalam semua jenis pembiayaan penuh. Maksudnya, pihak bank memberikan dana untuk usaha tertentu dengan ketentuan yang dibuat bersama. Sistem ini hampir sama dengan kredit modal kerja yang dikenal dalam bank konvensional. Oleh karena itu, prinsip ini disebut short run financing.
4)   Al-Bai’u Bitaman Ajil (konsep cicilan)
Sistem al-bai’u bitaman ajil adalah pembelian dengan cara pembayaran cicilan. Maksudnya, pembiayaan yang diberikan oleh pihak bank kepada nasabah dalam rangka pemenuhan kebutuhan barang modal (investasi).
5)   Al-Ijarah (prinsip sewa)
Prinsip al-ijarah dapat dilakukan pada semua jenis pembiayaan penuh. Pembiayaan penuh merupakan talangan dana untuk pengadaan barang ditambah keuntungan yang disepakati dengan sistem pembayaran sewa tanpa diakhiri dengan pemilikan. Dengan demikian, berarti al-ijarah sama dengan leasing dan bank (leasor) memberikan kesempatan kepada nasabah/penyewa (lesse) untuk memperoleh manfaat dari barang untuk jangka waktu tertentu, dengan ketentuan nasabah/penyewa akan menbayar sejumlah uang pada waktu yang disepakati bersama. Apabila telah habis jangka waktunya, benda/barang yang dijadikan sebagai objek al-ijarah tersebut menjadi milik bank.
6)   Al-Bai’u Ta’jir (prinsip jual beli)
Prinsip al-bai’u ta’jir diterapkan pada semua jenis pembiayaan penuh yang merupakan talangan dana untuk pengadaan, ditambah keuntukngan yang telah disepakati dengan sistem pembayaran sewa yang diakhiri dengan pemilik. Prinsip al-bai’u ta’jir ini hampir sama dengan sewa beli. Setelah habis pembayaran sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan, objek barang/benda tersebut menjadi milik nasabah.
7)   Qard Hasan
Prinsip qard hasan adalah rencana keuangan dalam bentuk pinjaman kebijakan yang tidak dikenakan biaya dan tanpa bunga. Jenis pinjaman ini diberikan pada konsumen atau pengusaha yang mengalami situasi yang sulit atau pengeluaran yang tidak direncanakan. Dengan kata lain, prinsip ini adalah penyuntikan dan bagi pengusaha atau konsumen yang sedang jauh atau bangkrut.
Kehadiran bank syariah memiliki hikmah yang cukup besar, diantaranya:
1.    Umat Islam yang berpendirian bahwa bunga bank konvensional adalah riba, maka bank syariah menjadi alternatif untuk menyimpan uangnya, baik dengan cara deposito, bagi hasil maupun lainnya.
2.    Untuk menyelamatkan umat Islam dari praktik riba (bunga) yang mengandung unsur pemerasan (eksploitasi) dari si kaya terhadap si miskin atau orang yang kuat ekonominya terhadap yang lemah ekonominya.
3.    Untuk menyelamatkan ketergantungan umat Islam terhadap bank non-Islam yang menyebabkan umat Islam berada di bawah kekuasaan bank sehingga umat Islam belum bisa menerapkan ajaran agamanya dalam kehidupan pribadi dan masyarakat, terutama dalam kegiatan bisnisdan perekonomiannya.
4.    Bank Islam dapat mengelola zakat di negara yang pemerintahannya belum mengelola zakat secara langsung. Dan bank juga dapat menggunakan sebagian zakat yang terkumpul untuk proyek-proyek yang produktif dan hasilnya untuk kepentingan agama dan umum.
5.    Bank Islam juga boleh memungut dan menerima pembayaran untuk hal-hal berikut:
a.    Mengganti biaya-biaya yang langsung dikeluarkan oleh bank dalam melaksanakan pekerjaan untuk kepentingan nasabah, misalnya: biaya telegram, telepon, atau telex dalam memindahkan atau memberitahukan rekening nasabah, dan sebagainya.
b.    Membayar gaji para karyawan bank yang melakukan pekerjaan untuk kepentingan nasabah dan sebagai sarana dan prasarana yang disediakan oleh bank dan biaya administrasi pada umumnya.
C.      ASURANSI
Sesuai dengan prinsip Islam yang menghindari bentuk-bentuk bunga, dalam akad asuransi tidak ada riba di dalamnya. Asuransi merupakan produk ekonomi Islam yang tergolong baru dalam khazanah hukum Islam. Berbagai perbedaan pendapat muncul di kalangan umat Islam terkait apakah akad asuransi ini dibenarkan dalam islam atau tidak.
1.        Pengertian Asuransi
Istilah asuransi seringkali dasamakan dengan istilah pertanggungan (kafalah). Pengertian tersebut dapat dijumpai dalam ketentuan Pasal 1 UU No. 2 tahun 1992 tentang usaha perasurasian.
Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, pihak penanggung mengingatkan diri pada tertanggung dengan menerima premiasuransi, untuk memberikan penggantian pada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum pada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Dari pengertian di atas dapat dikemukakan bahwa asuransi pada dasarnya adalah pertanggungan dan ikhtiar seseorang dalam rangka menanggulangi resiko atau akibat-akibat dari terjadinya sebuah peristiwa yang tidak diinginkan (diharapkan) terjadi, namun terjadi.
Menurut pasal KUPD, asuransi adalah suatu perjanjian (akad) antara seseorang yang mempertanggungkan sesuatu dengan seorang penanggung atau asurator. Menurut perjanjian ini, si penanggung menerima premi, yakni semacam pembayaran, baik sekaligus maupun berkala dari orang yang mempertanggungkan itu, dan dia berjanji akan mengganti kerugian yang mungkin diderita oleh si mempertanggungkan karena kejadian kelak (kemudian hari) yang sebelumnya tidak dapat ditentukan dan diketahui oleh siapa pun, seperti kebakaran, kehilangan, dan kerusakan.
2.        Dasar Hukum Asuransi
Ketentuan mengenai asuransi masuk dalam kategori objek ijtihad karena ketidakjelasan ketentuan hukumnya. Hal ini terjadi karena memang ketetuan mengenai asuransi, aik di dalam al-qur’an maupun hadits Nabi saw., termasuk para ulama tidak banyak yang membicarakannya.
Untuk mengeluarkan sebuah produk hukum ijtihad, dapat menggunakan berbagai cara, antara lain menggunakan konsep maslahah mursalah atau dengan cara kias (metode analgis). Berdasarkan hasil ijtihad para ulama dengan menggunakan metode ini maka dasar hukum asuransi di lingkungan ulama muncul beragam atau berbeda-beda. Perbedaan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a.    Pendapat pertama, mengatakan bahwa asuransi dengan sagala bentuk perwujudannya dipandang haram menurut ketentuan hukum. Artinya, melakukan akad asuransi tidak dibolehkan. Ulama yang mengharamkan asuransi ini adalah Abdullah al-Qalqili dan Muhammad Yusuf al-Qardawi.
b.    Pendapat kedua, menyatakan bahwa asuransi dengan sagala bentuk perwujudannya dapat diterima dalam syariat Islam. Ulama yang mendukung pendapat ini adalah Abdul Wahab Khallaf dan Mustafa Ahmad Zarqa (Syiria), Muhammad Yusuf Musa (Kairo).
c.    Pendapat ketiga, mengatakan bahwa asuransi sosial diperbolehkan, sedangkan asuransi komersial tidak diperdolehkan, kaena bertentangan dengan syariat Islam. Pendapat ini didukung oleh ulama Abu Zahrah.
d.   Pendapat keempat, mengatakan bahwa asuransi dengan segala bentk perwujudannya dipandang syubhat. Pendapat tersebut didukun oleh K.H. Ahmad Azhar Basyir (Indonesia).
Dari berbagai keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa asuransi dibolehkan selama tidak bertentangan dengan syariat Islam. Artinya, hendaknya berdasarkan asa gotong royong (ta’awun) dan perjanjian-perjanjian yang dibuat benar-benar bersifat tolong-menolong, bukan untuk mencari laba atau keuntungan dengan jalan yang tidak benar.
Dalam buku Hukum Asuransi di Indonesia yang ditulis oleh Vide Wirjono Prodjadikoro, dijelaskan, menurut pasal 246 Wet Boek Van Koophandel (Kitab Undang-Undang Perniagaan), bahwa asuransi pada umumnya adalah suatu persetujuan dimana pihak yang menjamin berjanji kepada pihak yang dijamin untuk menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti kerugian yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin karena akibat dari satu peristiwa yang belum jelas akan terjadi.
3.        Tujuan Asuransi
Tujuan asuransi adalah meawarkan jaminan perlindungan untuk menghadapi kerugian akibat suatu bencana yang terjadi pada yang diasuransikan, tanpa ada unsur penambahan kekayaan seseorang.
Cara untuk menanggulangi bahaya yang mungkin terjadi biasanya dipraktikkan dengan bersama-sama menanggung kerugian itu untuk tujuan meringankan beban penderita yang diasuransikan. Hal ini berarti bahwa tujuan dari asuransi lebih dekat dengan arti iuran ntuk perlindungan bersama.
4.        Jenis Asuransi
Social insurance lebih dianjurkan daripada bentuk-bentuk asuransi lain yang tidak jelas status hukumnya. Di Indonesia terdapat dua asuransi, yaitu asuransi sosial dan takaful. Asuransi sosial adalah asuransi pemerintah yang merupakan tuntunan UU 1945, khususnya pasal kesejahteraan sosial. Asuransi takaful merupakan lembaga asuransi yang berbasis Islam. Pembahasan kedua modal asuransi (sosial dan takaful) dirasa lebih cocok dan diterima oleh masyarakat Islam di Indonesia.
Asuransi sosial memiliki kekhususan tersendiri, diantaranya:
a.    Penyelenggara pertanggungan (asuransi) adalah pemerinta.
b.    Sifat hukum pertanggungan itu adalah wajib bagi seluruh anggota masyarakat atau sebagai anggota tertentu masyarakat. Misalnya, bagi para penumpang kendaraan, baik laut, darat maupun udara.
c.    Penentuan penggantian kerugian diatur oleh pemerintah dengan peraturan khusus yang dibuat untuk itu.
d.   Tujuan asuransi memberikan suatu jaminan sosial (social security), bukan untuk mencari keuntungan.
Secara operasional, asuransi yang sesuai dengan syariah memiliki sistem yang mengandung hal-hal sebagai berikut:
a.    Mempunyai akad takafuli (tolong-menolong) untuk memberikan santunan atau perlindungan atas musbah yang akan datang.
b.    Dana yang terkumpul menjadi amanah pengeloladana. Dana tersebut diinvestasikan sesuai dengan instrumen syariah seperti mudarabah, wakalah, wad’ah, dan murabahah.
c.    Premi memiliki unsur tabaruq atau mortalita (harapan hidup).
d.   Pembebanan biaya operasional ditanggung pemegang polis, terbatas pada kisaran 30% dari premi sehingga pembentukan pada nilai tunai cepat terbentuk di tahun pertama yang memiliki nilai 70% dari premi.
e.    Dari rekening tabarru’ (dana kebijakan seluruh peserta) sejak awal sudah diikhlaskan oleh peserta untuk keperluan tolong-menolong bila terjadi musibah.
f.     Mekanisme pertanggungan pada asuransi syariah adalah sharing of risk di mana apabila terjadi musibah, maka semua peserta ikut saling menanggung dan membantu.
g.    Keuntngan (profit) dibagi antara perusahaan dengan peserta sesuai prinsip bagi hasil (mudarabah), atau dalam akad tabarru’ dapat berbentuk dengan memberikan hadiah kepada peserta dan upah (fee) kepada pengelola.
h.    Mempunyai misi akidah, sosia serta mengangkat perekonomian umat Islam atau misi istiqadi.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More